Makna Baru dari Covid-19

Covid-19 ini pada akhirnya membuat sebuah makna baru dalam kehidupan ber-rumah tangga.

Kita dengan mudahnya melampiaskan semua rasa kedalam office yang penuh dengan kerjaan, kepada teman yang penuh tawa, atau kepada siapapun yang membuat kita bisa beristirahat sejenak dari permasalahan rumah tangga. Tetapi saat virus ini membuat kita terkekang bersama di dalam rumah, kita baru benar-benar diuji dan disadarkan.

Suami yang selama ini kerja diluar, baru melihat dengan jelas bagaimana istri yang dicinta menghabiskan waktu didalam rumah dan menunggu dengan setia suaminya pulang. Dia melihat haru betapa lelah istrinya mengurusi anak dan rumah yang menguras tenaga dan pikiran. Kalau ada pilihan antara mengurusi anak atau kerja, semua wanita di dunia ini akan mengatakan: kerja! Tetapi tidak anaknya. Dan hanya anaknya lah yang dapat melunakkan hati kecilnya. Lalu, dia ikhlas melupakan dan menanggalkan segala pernak-pernik pendidikannya yang dia dapatkan dengan luka dan sukacita.

Untuk istri yang bekerja, baru melihat dengan jelas bagaimana mertua atau ibunya atau pengasuh mengasuh anaknya. Dia baru sadar bahwa anak yang selama ini diidam-idamkan, ditunggu-tunggu didalam kandungan, kini semakin tumbuh dan aktif. Selama ini dia menganggap semuanya masih oke. Tetapi setelah dirumah. Ternyata ibunya sudah tua. Ternyata mertuanya sudah tua. Ternyata pengasuhnya punya limitasi. Ketiganya mempunyai batas dan kadarnya untuk mengurusi buah hati.

Pada akhirnya, terkekang dirumah membuat sang suami berpikir kesekian kalinya untuk melanggar norma-norma. Karena tahu bagaimana istrinya melawan semua keegoan demi dia, demi buah hatinya.

Terkekang dirumah membuat istri yang bekerja selama ini baru menyadari bahwa waktu telah membius dirinya dalam kenangan-kenangan yang seharusnya tercipta dan diciptakannya bersama buah hati.

Mari kita ingat-ingat lagi: Seberapa serius dan haru kita dulu meminta kepada Sang Maha untuk memiliki jodoh yang baik? Seberapa takut kita dulu saat tak kunjung mengandung?

Mari kita kembalikan lagi peran basic kita didalam ber-rumah tangga:
Kita bukan tumbuh sendiri-sendiri, tetapi tumbuh bersama-sama.

Keistimewahan Perempuan

Perempuanmu itu dulu juga kuliah. Pernah berjalan berkilometer jauhnya, pernah berhemat demi bekal satu bulan, pernah tidur larut malam karena tugas kuliah, pernah ditolak judul skripsinya, pernah tertatih saat dosen pembimbing banyak maunya, lalu pernah menangis karena rumitnya pemikiran para penguji. Lalu setelah lulus pun, pernah bingung kemana arahnya, pernah pesimis karena semua perusahaan menolaknya, pernah jatuh sakit karena terik matahari saat mengirimkan CV miliknya, lalu pernah sakit hati di marah dan di maki bosnya. Pernah, dengan frekuensi waktu yang tak bisa di ukur.

Namun tengoklah kini saat ia telah menikah denganmu. Hanya memosting foto masakannya di Story Instagram miliknya saja, adalah kesenangan yang luarbiasa baginya. Hanya memosting rumah yang rapi saja, ia bangga. Ia, yang lelahnya sama seperti lelahmu, yang perjuangannya dulu, sama dengan perjuanganmu, rela setia menunggu kekasihnya mencari nafkah. Dan sesaat bunyi kendaraanmu tiba di telinganya, di lap keringatnya, di sembunyikan lelahnya, di rias wajahnya, di benahi senyumnya, semua… semua dilakukan hanya demi seseorang yang dipanggil suami baginya.
Maka pikirkan berulang, saat kau ingin melepaskannya.
Maka pikirkan berulang, saat kau tergoda dengan yang lain.
Maka pikirkan berulang, saat kau ingin memarahinya.

Kalau segitunya ia demi kamu, mengapa tak demikian dengan kamu?

Tumbuhlah, Nak.

Suasana yang tak kan mungkin bisa dilupakan. Dari visual dua garis di testpack yang bapakmu pungut kembali di kerumunan sampah –karena pada saat itu ibumu terlalu cepat membuang lalu menangis tersedu saat diketahui garisnya hanya satu. Membawamu ke dokter setiap bulan. Dari siang sampai larut malam. Antre berjam-jam. Demi melihat kau berenang-berenang, balik sana, balik sini di sebuah monitor yang tergantung. Baru melihatmu disana saja, kami tertawa, Nak. Dan pada akhirnya momen menegangkan itu masuk kedalam kehidupan kami.

Detik itu, detik dimana ibumu menahan perih tak berkesudahan. Perih yang dianalogikan seperti ratusan tulang yang dipatahkan serentak. Kematian layaknya satu kedipan mata. Mengharukan saat ibumu mengatakan, titip anak kita jika aku mati duluan. Di saat itu tubuhku seperti kaku lalu dingin. Berulang kali kalimat ibumu itu menerjang kepala. Aku demi apapun, tak kan pernah siap bila itu terjadi. Dan syukurnya tidak, yang Maha Kuasa masih mengizinkan keluarga kecil kita bahagia dengan kehadiranmu.

Kau hadir, Nak. Kami berpelukan. Puluhan kali kami bertahmid.
Kau, adalah anugerah terindah itu. Raut wajahmu lucu sekali. Menggemaskan. Walau masih kurus. Masih tak berdaya. Masih pasrah. Namun kau membuat kami ikhlas menghabiskan waktu berlama-lama memandangimu.

Kini, kau tumbuh. Nampaknya asi lancar betul mengalir lalu terdistribusi pekat dalam setiap lekuk tubuhmu. Lebih menggemaskan. Lebih lucu. Dan tentu lebih cantik. Nah kata cantik itulah yang membuat bapakmu ini sekarang lebih parno. Bapak sadar kau masih kecil, namun cemburu telah hadir saat ada lelaki –meskipun masih anak kecil juga- hendak mengajakmu bermain. Apalagi kalau lolos dari pandangan, lelaki kecil itu menciummu. Percayalah, dengan cara yang anggun bapak lalu menggendongmu untuk terhindar dari dia. Lucu ya, tapi itulah yang sesungguhnya terjadi. Maka benar, pangeran pertama bagi anak perempuan itu adalah bapaknya. Aku mengalaminya.

QL.pngTumbuhlah, Nak. Menjadi perempuan yang mengimani Allah dimanapun kaki berpijak.
Tumbuhlah, Nak. Menjadi apapun yang berguna bagi orang banyak. Rasakan bagaimana kehidupan ini melawak untukmu. Rasakan bagaimana angin menghembusmu dengan cara yang berbeda-beda. Rasakan bagaimana luka akan membawamu pada bahagia. Rasakan bagaimana jatuh akan membawamu bangkit.

Rasakan, lalu pulanglah padaku. Kapanpun kau butuh. Karena dekapan ini akan selalu rindu. Rindu yang tak kan pernah pudar buatmu.

Selamat satu tahun, Qilla.

Love you.